Pembangunan di Indonesia telah mengalami suatu perkembangan yang amat pesat sejak beberapa dekade terakhir, tuntutan kebutuhan masyarakat membuat pembangunan dilakukan dengan melibatkan dan memanfaatkan berbagai unsur yang ada termasuk sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pembangunan yang melibatkan sumber daya alam hayati ini tentunya membutuhkan pengelolaan khusus agar pemanfaatan sumber daya tersebut dapat dilakukan secara selaras,serasi dan seimbang untuk ekosistem serta dapat diambil manfaatnya sekarang hingga di masa depan untuk membentuk kesejahteraan masyarakat. Upaya penjagaan yang dilakukan untuk menjamin pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dilakukan dengan cara menyusun rangkaian tahap konservasi agar sumber daya yang dimanfaatan maupun lingkungan yang berada disekitarnya dapat terus terpelihara dan menjaga keseimbangan alam di dalam proses pembangunan yang dilakukan tersebut. Regulasi tentang pengaturan konservasi sumber daya alam hayati ada di UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Kekayaan alam di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar diantara negara-negara lain di dunia. Keanekaragaman hayati yang luar biasa dan juga keunikan pada spesies-spesies yang ada menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat mega biodiversity. Tetapi gelar mega-biodiversitas yang dimiliki Indonesia menjadikan Indonesia juga dituntut untuk bertanggung jawab atas kelestarian sumber daya alam hayati maupun hewani berikut ekosistemnya yang ada di dalamnya. Tugas negara dan masyarakatnya untuk menjaga keseimbangan di alam haruslah benar-benar dilakukan dan dilakukan secara terus menerus, salah satu upaya untuk menjamin upaya pelestarian ini adalah dibentuknya UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tadi. Kekayaan alam berupa tersebarnya ratusan ribu spesies flora dan fauna di seluruh wilayah Indonesia yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi haruslah dijaga dan diawasi pemanfaatannya karena dari banyaknya spesies yang ada masih terbagi menjadi beberapa tingkat terutama pada jenis spesies satwa, dari yang jumlah populasinya sangat banyak yang bebas untuk dimanfaatkan hingga yang populasinya dapat dihitung dengan jari yang artinya populasinya sangat sedikit dan terancam punah.
Salah satu dari sekian banyak kekayaan jenis spesies satwa di Indonesia yang terancam punah adalah orangutan yaitu dari jenis primata. Jenis primata yang di Indonesia sendiri merupakan 20 persen dari total spesies primata yang ada di dunia. Orangutan ini merupakan satu-satunya spesies kera besar yang dapat ditemukan di Asia yang pada awalnya yang diperkirakan pada zaman dulu tersebar di dataran Tiongkok hingga Asia tenggara tetapi saat ini populasi yang tersisa hanya ada di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan yang terbagi menjadi dua spesies yang berbeda yaitu orangutan Sumatera (Pongo Abelii) dan orangutan Kalimantan (Pongopygmaceus).[1] Di dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), Spesies orangutan masuk ke dalam daftar Appendices I, yakni daftar di dalam CITES yang memuat spesies hewan dan tumbuhan yang terancam punah dan sama sekali langka sehingga membuat tindakan penangkapan, pembunuhan dan perdagangan komersil terhadap spesies Orangutan adalah dilarang.
Fakta di lapangan menunjukkan sebuah ironi terhadap peraturan terkait konservasi lingkungan yang ada terutama masalah pelestarian spesies orangutan. Keberadaan Orangutan sebagai salah satu penyangga dan penjaga keseimbangan ekosistem ekologi apalagi sebagai spesies yang harus dilestarikan karena terancam punah tidak lagi berlaku karena primata ini justru dianggap sebagai hama yang perlu dibasmi. Hal ini dikarenakan munculnya lahan perkebunan kelapa sawit dimana orangutan dianggap sebagai pengganggu dan hama kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit ini menganggap orangutan sebagai pengganggu atau hama yang dapat mengganggu diambilnya hasil perkebunan kelapa sawit.[2]
Keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit pada faktanya telah mengancam kepunahan spesies orangutan, selain karena menganggap Orangutan sebagai hama bagi perkebunannya, perusahaan ini juga secara langsung telah melakukan pemusnahan dan menyempitkan habitat asli orangutan akibat pembukaan lahan perkebunan yang menghancurkan kawasan habitat asli bagi spesies orangutan. Pemusnahan orangutan diperkebunan sawit adalah salah satu dari sekian banyak yang dapat membuat orangutan semakin hari semakin menurun populasinya. Penurunan dan kerusakan kawasan hutan dataran rendah baik yang terjadi di Sumetera dan Kalimantan sebagai rumah habitat jenis primata ini telah mencapai titik kritis yang dapat membawa bencana ekologis dalam skala besar bagi warga masyarakat karena tidak seimbangnya kondisi ekologis di alam. Sehingga setiap tahunnya diperkirakan habitat asli orangutan telah berkurang hingga 2 % setiap tahunnya.[3]
Secara tidak langsung pelestarian terhadap spesies terancam punah terutama orangutan harus disadari dan dilakukan secara tegas baik secara represif maupun preventif oleh seluruh pihak. Tetapi bagi pemerintah yang dalam hal ini Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam di Kementrian Kehutanan harus memiliki tanggung jawab lebih dalam hal pengelolaan keanekaragaman hayati yang dilindungi dimanapun tempatnya baik di kawasan konservasi ataupun di luar kawasan konservasi. Untuk melindungi spesies Orangutan yang terancam punah ini serta menjamin bahwa habitat di luar kawasan konservasi dapat dikelola secara berkelanjutan, tidak cukup dengan peran pemerintah saja tetapi perusahaan yang ikut serta menggunakan lahan dan kawasan hutan. Perusahaan tersebut memiliki kewajiban untuk turut bertanggungjawab dalam mengelola orangutan dan habitatnya dikarenakan perusahaan tersebut secara langsung maupun tidak langsung memiliki andil dalam hal mengurangi wilayah habitat asli dari orangutan.
Orangutan yang berada di wilayah Sumatera sendiri saat ini telah berkurang populasinya dari yang awalnya diperkirakan jumlahnya mencapai 85.000 ekor pada tahun 1900 lalu berkurang hanya tinggal 6000 ekor saja pada tahun 2008, artinya terjadi penurunan jumlah populasi orangutan sebesar 91% sejak tahun 1900.[4] Penurunan populasi yang sangat drastis ini penyebab terbesarnya adalah kehilangan habitatnya yaitu hutan. Padahal Sumatera sendiri adalah bagian dari Sundaland Biodiversity Hotspot yaitu salah satu dari 34 wilayah di dunia dengan tingkat biodiversitas dan edemisitas yang sangat tinggi tetapi kehilangan hutan di Sumatera yang ditunjukkan dengan laju deforestasi atau angka yang menunjukkan kehilangan lahan hutan di Sumatera adalah sebesar 317,580,12 hektar per tahun.[5]
Salah satu kasus besar yang pernah menjadi sorotan yang dianggap memiliki pengaruh terhadap pengurangan populasi orangutan adalah pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit karena konversi hutan untuk dijadikan kebun kelapa sawit membuat orangutan kehilangan habitat aslinya dan memaksa orangutan untuk mencari kebun-kebun kelapa sawit dan itu dianggap sebagai hama, padahal yang menjadikan orangutan masuk ke wilayah perkebunan adalah manusia sendiri yang merubah habitat aslinya. Pada tahun 2006 tercatat ada 1500 ekor orangutan mati di areal kebun kelapa sawit di Kalimantan tengah.[6] Hal ini menunjukkan bahwa orangutan memang benar-benar dalam keadaan telah kehilangan habitatnya dan sangat terganggu kehidupannya karena ia kesulitan mencari makanan. Ketika habitatnya tergusur maka hanya ada dua kemungkinan yaitu orangutan tersebut tetap bertahan di habitat yang telah berubah sehingga kemungkinan besar akan mati dan harus siap menjadi, dan yang kedua adalah orangutan tetap hidup dengan mencari habitat baru dengan permasalahan sulit mencari makan, persaingan teritorial dengan binatang lain serta ancaman predator atau bahkan karena tidak memiliki tempat tinggal di hutan lalu diambil masyarakat untuk dijual secara ilegal atau dipelihara di kandang-kandang yang tidak layak.
Permintaan dari industri kelapa sawit di seluruh dunia yang diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya membuat terus adanya perluasan kawasan perkebunan oleh Industri kelapa sawit. Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia pada tahun 1999 saja telah membuka hutan seluas 3 juta hektar atau setara dengan lima kali luas Pulau Bali untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan pada tahun 2009 pemerintah telah menyiapkan dana 9 triliun setiap tahun untuk membuka lahan baru bagi perkebunan kelapa sawit seluas ratusan ribu hektar. [7]
Potensi terjadinya konflik antara manusia dan orangutan selain disebabkan karena pembukaan habitat orangutan menjadi perkebunan juga disebabkan karena aktifitas manusia yang semakin tidak terkendali dengan melakukan perburuan dan penangkapan orangutan yang tidak memiliki tempat tinggal, hal itu disebabkan orangutan yang terusir dari habitat aslinya yang telah musnah akan pergi mencari habitat baru tetapi dalam prosesnya karena susah mencari makanan maka orangutan seringkali mencari makanan di wilayah pemukiman penduduk atau minimal di dekat pemukiman penduduk. Hal ini membuat orangutan yang berada di dekat pemukiman akan ditangkap atau bahkan dibunuh oleh warga. Pembunuhan orang utan jelas bertentangan dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, proses penegakan hukum tersebut menjadi dilema masalah masyarakat dengan lingkungannya, bahwa bagaimana masyarakat tidak melakukan tindakan atas masuknya orangutan ke wilayah pemukiman sehingga mengganggu kehidupan masyarakat sementara orangutan masuk ke wilayah masyarakat disebabkan karena ia tidak memiliki habitat dan sumber makanan. Permasalahan awal inilah yang perlu untuk diselesaikan.
Perilaku manusia yang mengancam kepunahan dari satwa langka dimana ambisi manusia ingin memiliki dan mengambil manfaat dari alam tetapi tidak memperdulikan populasi spesies orangutandihabitat asalnya serta ekosistemnya. Kepunahan orangutan dapat dicegah dengan ditetapkan perlindungan hukum secara lebih rinci terhadap satwa langka yang dilindungi dan pelaksanaannya dilakukan secara tegas. Satwa langka yang mengalami kepunahan sebaiknya tidak boleh dimiliki, ditangkap, diburu serta diperjualbelikan, hal ini untuk menjaga kelestarian satwa tersebut dari kepunahan yang disebabkan oleh manusia atau alam disekitarnya.
[1]Muhammad Irfan, Sarosa Hamongpranoto dan Prija Djatmika, 2012, Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Satwa Orangutan yang Dilindungi menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 di Wilayan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hlm.4
[2]Nurlaila, 2013, Dampak Pemusnahan Orangutan di Kalimantan Timur oleh Perusahaan Asing Malaysia, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1 Universitas Mulawarman, hlm.79
[3]Ibid, hlm.82
[4]Onrizal, 2012, Potret Habitat,Keanekaragaman Hayati dan Perlindungan Kehidupan, Makalah, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,hlm.14
[5]Ibid, hlm. 8
[6]Kelapa Sawit tetap Prioritas Nasional dan Mengancam Orangutan, Buletin Orangufriends, Edisi 1 Februari 2009, hlm. 2
[7] Ibid, Hlm. 4